Jumat, 25 Februari 2011

Budaya Organisasi Dalam Perusahaan

                                  BUDAYA ORGANISASI
Sebagian para ahli seperti Stephen P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya yang berjudul “Organizational Theory” (1990), memasukan budaya organisasi kedalam teori organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan aplikasi dari budaya organisasi dan apabila diterapkan dilingkungan manajemen akan melahirkan budaya manajemen. Budaya organisasi dengan budaya perusahan sering disalingtukarkan sehingga terkadang dianggap sama, padahal berbeda dalam penerapannya.
Kita tinjau Pengertian budaya itu sendiri menurut : “The International Encyclopedia of the Social Science” (1972) dpat dilihat menurut dua pendekatan yaitu pendekatan proses (process-pattern theory, culture pattern as basic) didukung oleh Franz Boas (1858-1942) dan Alfred Louis Kroeber (1876-1960). Bisa juga melalui pendekatan structural-fungsional (structural-functional theory, social structure as abasic) yang dikembangkan oleh Bonislaw Mallllinowski (1884-1942) dan Radclife-Brown yang kemudians dari dua pendekatan itu Edward Burnett Tylor (1832-1917 secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a memmmber of society” atau Budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72 ) sesuai dengan kekhasan etnik, profesi dan kedaerahan”(Danim, 2003:148).
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ternyata ilmu budaya bisa mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corporate culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pembelajaran sekolah (school learning culture) atau Kultur akademis (Academic culture)
Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah Kultur akademis yang pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memahami bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organisatoris oleh pimpinan akademis yang mengeluarkan sebuah kebijakan yang diterima ketika seseorang masuk organisasi tersebut.
Fungsi pimpinan sebagai pembentuk Kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson (1996) bahwa :
Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal yaitu : a). Mengkonsepsitualisasikan visi dan perubahan dan b). Memiliki pengetahuan, keterampilan dan pemahaman untuk mengtransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi riil (Danim, Ibid., P.74).
Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola prilaku dalam hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :
• Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari.
• Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.
• Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi.
• Budaya dan kepribadian
Oleh karena budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Didalamnya ada sikap reaktif seorang pendidik terhadap perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi kampus sebagaimana yang terjadi, dimana dengan adanya komersialisasi kampus bisakah berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis penididik dalam sehari-harinya.
Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.
Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing”(Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174)
Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan kampus jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan mahasiswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpengaruh dalam dunia pendidikan.
Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempengaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)
Sedang menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku manusia”( Ndraha, 2003:123).
Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi.
Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya. Vijay Sathe mendefinisikan budaya sebagai “The sets of important assumption (opten unstated) that member of a community share in common” ( Sathe, 1985: 18) Begitu juga budaya sebagai sebuah asumsi dasar dalam pembentukan karakter individu baik dalam beradaptasi keluar maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh Edgar H. Schein bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai :
“A pattern of share basic assumption that the group learner as it solved its problems of external adaptation anda internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems”.
( Schein, 1992:16)
Secara lengkap Budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Seorang professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.
• Organisasi dan budaya
Membahas budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri dan dapat kita lihat beberapa pendapat tentang organisasi yang salah satunya diungkapkan Stephen P. Robbins yang mendefinisikan organisasi sebagai “…A consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that function or relatively continous basis to achieve a common goal or set of goal”. ( Robbins, 1990: 4) Sedangkan Waren B. Brown dan Dennis J. Moberg mendefinisikan organisasi sebagai “…. A relatively permanent social entities characterized by goal oriented behavior, specialization and structure”(Brown,etal,1980:6) Begitu juga pendapat dari Chester I. Bernard dari kutipan Etzioni dimana organisasi diartikan sebagai “Cooperation of two or more persons, a system of conciously coordinated personell activities or forces”( Etzioni, 1961:14.)
Sehingga organisasi diatas pada dasarnya apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick). Sehingga organisasi dianggap Sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.
Dari pengertian Organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Untuk lebih menyesuaikan dengan spesifikasi penelitian penulis mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah budaya akademis.
Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai “Suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain”(Umar Nimran, 1996: 11)
Sedangkan Griffin dan Ebbert (Ibid, 1996:11) dari kutipan Umar Nimran Budaya organisasi atau bisa diartikan sebagai “Pengalaman, sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang menjadi ciri perusahaan/organisasi” Sementara Taliziduhu Ndraha Mengartikan Budaya organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini”( op.cit , Ndraha, P. 102) Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan oleh Piti Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate culture” mengartikan budaya organisasi sebagai :
A set of basic assumption and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adaptation and internal integration.( Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102)
(Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar yang dterima anggota dari sebuah organisasi yang dikembangkan melalui proses belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan integarasi dari dalam)
Hal yang sama diungkapkan oleh Edgar H. Schein (1992) dalam bukunya “Organizational Culture and Leadershif” mangartikan budaya organisasi lebih luas sebagai :
“ …A patern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems.( loc.cit, Schein, P.16)
(“… Suatu pola sumsi dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh sekelompok orang sebagai pengalaman memecahkan permasalahan, penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun integrasi intern yang berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada para anggota baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun perasaan yang tepat dalam mengahdapi problema organisasi tersebut).
Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (1992) budaya organisasi diartikan sebagai :
Seperangkat nilai yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima dan nilai-nilai tersebut dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lainnya(McKenna,etal, op.cit P.63).
Amnuai (1989) membatasi pengertian budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota sebuah organisasi dari hasil proses belajar adaptasi terhadap permasalahan ekternal dan integrasi permasalahan internal.
Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adaptasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut atau diistilahkan Schein (1992) dengan considered valid yaitu nilai yang terbukti manfaatnya. selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan sebagai teaching by example atau menurut Amnuai (1989) sebagai “through the leader him or herself” yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.
• Hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi
Menurut Piti Sithi-Amnuai bahwa : “being developed as they learn to cope with problems of external adaptation anda internal integration (Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan eksternal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi).( Opcit Ndraha, P.76).
Pembentukan budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
• Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.
• Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.
• Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.
Menurut Vijay Sathe dengan melihat asumsi dasar yang diterapkan dalam suatu organisasi yang membagi “Sharing Assumption”( loc.cit Vijay Sathe, p. 18) Sharing berarti berbagi nilai yang sama atau nilai yang sama dianut oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Asumsi nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yang dapat dibagi menjadi :
• Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian Korpri untuk PNS, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut.
• Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan slogan, pemeo seprti didunia pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani, Baldatun thoyibatun wa robbun ghoffur diperguruan muhammadiyah.
• Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi seperti istilah mapalus di Sulawesi, nguopin di Bali.
• Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa dan lain sebagainya.

Sedangkan menurut pendapat dari Dr. Bennet Silalahi bahwa budaya organisasi harus diarahkan pada penciptaan nilai (Values) yang pada intinya faktor yang terkandung dalam budaya organisasi.( Silalahi,2004:8) harus mencakup faktor-faktor antara lain : Keyakinan, Nilai, Norma, Gaya, Kredo dan Keyakinan terhadap kemampuan pekerja
Untuk mewujudkan tertanamnya budaya organisasi tersebut harus didahului oleh adanya integrasi atau kesatuan pandangan barulah pendekatan manajerial (Bennet, loc.cit, p.43)
bisa dilaksanakan antara lain berupa :
• Menciptakan bahasa yang sama dan warna konsep yang muncul.
• Menentukan batas-batas antar kelompok.
• Distribusi wewenang dan status.
• Mengembangkan syariat, tharekat dan ma’rifat yang mendukung norma kebersamaan.
• Menentukan imbalan dan ganjaran
Menjelaskan perbedaan agama dan ideologi.

Selain share assumption dari Sathe, faktor value dan integrasi dari Bennet ada beberapa faktor pembentuk budaya organisasi lainnya dari hasil penelitian David Drennan selama sepuluh tahun telah ditemukan dua belas faktor pembentuk budaya organisasi /perusahaan/budaya kerja/budaya akdemis ( Republika, 27 Juli 1994:8) yaitu :
• Pengaruh dari pimpinan /pihak yayasan yang dominan
• Sejarah dan tradisi organisasi yang cukup lama.
• Teknologi, produksi dan jasa
• Industri dan kompetisinya/ persaingan.
• Pelanggan/stakehoulder akademis
• Harapan perusahaan/organisasi
• Sistem informasi dan kontrol
• Peraturan dan lingkungan perusahaan
• Prosedur dan kebijakan
• Sistem imbalan dan pengukuran
• Organisasi dan sumber daya
• Tujuan, nilai dan motto.

• Budaya dengan profesionalisme
Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison ( McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe budaya organisasi :
• Budaya kekuasaan (Power culture).
Budaya ini lebih mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.
Seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi. Kelajiman yang masih menganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan terkadang melupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya organisasi.
• Budaya peran (Role culture).
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan mengastabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu mengstabilkan suatu organisasi. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.
• Budaya pendukung (Support culture)
Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education)
• Budaya prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
• Karakteristik budaya organisasi.
Untuk menentukan indikator secara pasti mengenai budaya organisasi jauh lebih sulit tetapi penulis mengambil dari beberapa pendapat para ahli mengenai indikator yang menentukan budaya organisasi.
Khun Chin Sophonpanich memasukan budaya pribadi ke dalam Bank Bangkok 50 tahun yang lalu dengan beberapa indikator antara lain :
• Ketekunan (dilligency),
• Ketulusan (sincerity),
• Kesabaran (patience) dan
• Kewirausahaan (entrepreneurship).
Sedangkan Amnuai dan Schien membagi budaya organisasi kedalam beberapa indikator yaitu antara lain
• Aspek kualitatif (basic)
• Aspek kuantitatif (shared) dan aspek terbentuknya
• Aspek komponen (assumption dan beliefs),
• Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation)
• Aspek Integrasi internal (internal integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya organisasi yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.
Selangkah lebih maju tinjauan dari Dr.Bennet Silalahi yang melihat budaya kerja dapat dilihat dari sudut teologi dan deontology (Silalahi, 2004:25-32) seperti pandangan filsafat Konfutse, etika Kristen dan prinsip agama Islam. Kita tidak memungkiri pengaruh tiga agama ini dalam percaturan peradaban dunia timur bahkan manajemen barat sudah mulai memperhitungkannya sebagai manajemen alternatif yang didifusikan ke manajemen barat setelah melihat kekuatan ekonomi Negara kuning seperti Cina, Jepang dan Korea sangat kuat. Perimbangan kekuatan ras kuning Asia yang diwakili Jepang, Korea dan Cina tentu saja tidak bisa melupakan potensi kekuatan ekonomi negara-negara Islam yang dari jumlah penduduknya cukup menjanjikan untuk menjadi pangsa pasar mereka.
Tinjauan ajaran Islam membagi budaya kerja kedalam beberapa indikator antara lain :
• Adanya kerja keras dan kerjasama (QS. Al-Insyiqoq : 6, Al-Mulk : 15, An-Naba : 11 dan At-taubah : 105))
• Dalam setiap pekerjaan harus unggul/professional/menjadi khalifah (An-Nahl : 93. Az-Zumar : 9, Al-An’am : 165)
• Harus mendayagunakan hikmah ilahi (Al-Baqoroh : 13)
• Harus jujur, tidak saling menipu, harus bekerjasama saling menguntungkan.
• Kelemah lembutan.
• Kebersihan
• Tidak mengotak-kotakan diri/ukhuwah
• Menentang permusuhan.
Sedangkan menurut ajaran konghucu budaya kerja ditinjau dari budaya Ren yang terdiri dari lima sifat mulia manusia antara lain :
• Ren (hubungan industrial supaya mengutamakan keterbatasan, kebutuhan dan kualitas hidup manusia)
• Yi (tipu muslihat, timbangan yang tidak benar, kualitas barang dan jasa supaya disngkirkan atau dibenarkan agar tidak merugikan para stakehoulder)
• Li (Instruksi kerja, penilaian unjuk kerja, peranan manajemen harus dilandaskan pada kesopanan dan kesantunan)
• Zhi (kearifan dan kebijaksanaan dituntut dalam perencanaan, pengambilan keputusan dan ketatalaksanaan kerja, khususnya dalam perencanaan strategi dan kebijakan)
• Xing (setiap manajer dan karyawan harus saling dapat dipercaya)

Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Desmond graves (1986:126) mencatat sepuluh item research tool (dimensi kriteria, indikator) budaya organisasi yaitu :
• Jaminan diri (Self assurance)
• Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
• Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory ability)
• Kecerdasan emosi (Intelegence)
• Inisatif (Initiative)
• Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for achievement)
• Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for self actualization)
• Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for power)
• Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)
• Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).
 

      Analisa Hubungan Budaya Organisasi Dengan                            Kebijakan Perusahaan




(Vibiznews - Strategic Management) - Menurut sudut pandang pers bisnis, para eksekutif dan konsultan manajemen, budaya perusahaan sangat berpengaruh terhadap pilihan kebijakan dan kinerja finansial perusahaan. Namun, studi empiris dalam ekonomi dan keuangan kurang memberikan perhatian terhadap peranan penting dari budaya organisasi dalam menjelaskan perilaku perusahaan, terutama karena disebabkan oleh sulitnya mengukur dan mengkalkulasi budaya organisasi.


Selain itu juga disebabkan oleh minimnya teori ekonomi yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah salah satu penentu dalam kebijakan perusahaan. Namun, seperti yang dikedepankan oleh Kreps (1990) dan Hermalin (2001), memahami budaya organisasi sangatlah penting jika kita ingin memahami pilihan kebijakan perusahaan dan terutama kinerjanya.


Apakah sebenarnya budaya organisasi itu? Dan mengapa ia mempengaruhi keputusan perusahaan? Budaya organisasi memiliki beberapa definisi. Definisi yang umum digunakan adalah serangkaian norma, nilai, kepercayaan dan preferensi yang dianut bersama oleh para manajer dan karyawannya. Menurut pandangan ini, budaya organisasi dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan karena budaya menentukan perilaku yang tepat ketika perusahaan menghadapi situasi yang kompleks dan penuh ketidakpastian.


Motivasi dari penelitian mengenai pengaruh dari budaya organisasi terhadap kebijakan perusahaan selanjutnya dapat dilihat ketika mempertimbangkan bahwa banyak keanekaragaman dalam kebijakan perusahaan yang tidak dapat dijelaskan oleh model standar. Misalnya keputusan struktur modal perusahaan yang merupakan variabel kebijakan penting bagi sebagian besar perusahaan. Dalam penelitiannya, Lemmon, Roberts dan Zender menunjukkan bahwa efek firm-specific dapat menjelaskan lebih dari 90% variasi dari struktur modal pada perusahaan, sementara menurut model standar hanya 6%.


Mereka menyimpulkan bahwa determinan utama dari variasi cross section pada leverage adalah firm-specific dan time-invariant, dan untuk memahami keputusan struktur modal perusahaan harus diteliti faktor perusahaan yang tetap sepanjang periode yang lama. Salah satu faktor tersebut adalah budaya organisasi. Penelitian dari Cronqvist, low dan Nilsson berikut ini bermaksud untuk menyelidiki hubungan budaya organisasi dengan pilihan kebijakan perusahaan.


Hasil Penelitian
Perusahaan spin-off dan induknya memiliki kesamaan dalam kebijakan yang dipilihnya. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan mewarisi perilaku dari induk perusahaannya bahkan setelah mereka berpisah dan berdiri sendiri. Variabel-variabel yang dijadikan ukuran antara lain net investment, acquisition activities dan acquisition dependency. Kesemuanya menghasilkan koefisien yang positif dan signifikan.


Selanjutnya mereka meneliti kebijakan finansial. Nyatanya terdapat korelasi yang positif antara struktur modal perusahaan spin-off dan induknya. Mereka memiliki leverage yang serupa. Hasil serupa juga didapat ketika menganalisa ukuran leverage lainnya, seperti interest coverage ratio. Sehingga, kelihatannya perusahaan spin-off mewarisi perilaku induknya dalam berutang. Misalnya, induk perusahaan yang memiliki leverage rendah cenderung untuk memiliki spin-off yang komposisi utangnya rendah.


Mereka juga menganalisa kebijakan dividen. Perusahaan induk dan spin-off-nya memiliki kebijakan payout yang serupa, Hasil yang didapatkan juga positif dan signifikan.


Selanjutnya, juga diteliti kebijakan operasional. Seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya, hubungan antara kebijakan induk dan anak perusahaan dalam bidang R&D, pemasaran dan cost cutting policy juga positif dan signifikan. Oleh karena itu, kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah induk dan anak perusahaan memiliki budaya perusahaan yang sama, mereka menganut norma, kepercayaan dan ekspektasi yang sama mengenai perilaku perusahaan.


Teori ekonomi mengatakan bahwa budaya perusahaan cenderung untuk tetap selama periode yang panjang karena sangatlah mahal dan butuh waktu untuk mengubah norma, nilai dan kepercayaan yang dianut bersama dalam perusahaan. Oleh karena itu, mereka menguji apakah hubungan antara induk dan anak perusahaan bersifat jangka panjang, bukan hanya temporer. Hasilnya, lebih dari satu dekade setelah induk dan spin-off berpisah, ternyata mereka masih memiliki budaya yang serupa.


Jika budaya perusahaan memengaruhi kebijakan, maka diperkirakan berpengaruh pula terhadap kinerja finansial. Setelah dilakukan pengujian, ternyata hal ini terbukti. Induk yang kinerjanya baik cenderung untuk menghasikan spin-off yang kinerjanya baik pula. Sementara begitu pula sebaliknya. (Sumber: Cronqvist, H., Low, A., Nilsson, M. (2007).“Does Corporate Culture Matter for Firm Policies?”. http://www.ssrn.com.)


Pentingnya Peran Budaya Organisasi Dalam Menumbuhkan Pengetahuan Menjadi Nilai Tambah Bagi Organisasi

Tidak diragukan lagi, pengetahuan yang dibutuhkan oleh suatu organisasi sebagian besar berada di dalam diri manusia yang ada di organisasi tersebut. Pengetahuan itu dapat berupa kompetensi, keterampilan, keahlian, penalaran/analytical skills, hingga pengetahuan tacit yang sudah menjadi intuisi. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), secara ontologis pengetahuan organisasi dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: individu, kelompok dan organisasi. Mengelola pengetahuan individu jauh lebih mudah daripada memrosesnya hingga menjadi pengetahuan perusahaan. Dan perusahaan yang berhasil mengelola pengetahuan individu menjadi pengetahuan perusahaan akan mendapatkan sumber daya kompetitif yang sangat berharga dan unik.


Mengelola pengetahuan manusia membutuhkan cara-cara yang kompleks, yang tidak bisa serta-merta diterjemahkan menjadi sistem yang mekanistis, karena manusia diciptakan sangat beragam. Stephen R. Covey menyebutkan 4 aspek yang dimiliki oleh manusia, yaitu pikiran (mind), fisik (body), hati (heart) dan jiwa (spirit), dimana keempat-empatnya itu berada di bawah kendali masing-masing individu, dan setiap individu itu bersifat otonom.


Perusahaan tidak akan dapat memperoleh pengetahuan dari setiap individu secara optimal jika mereka tidak memberikannya secara sukarela. Mendapatkan pengetahuan individu saja, perusahaan tidak bisa memiliki kendali secara penuh, apalagi mendapatkan pengetahuan organisasi yang berasal dari masing-masing dari sejumlah individu dan hasil sinergi dari sejumlah individu tersebut. Ini merupakan tantangan yang tidak ringan, tak heran bila banyak perusahaan yang gagal melakukannya. Tidak ada pendekatan atau standar yang memastikan keberhasilannya, melainkan dibutuhkan keterampilan organisasi, khususnya pemimpin untuk secara jeli mengelola sekelompok manusia. Itulah sebabnya Karl Erick Sveiby mengatakan bahwa Knowledge Management sesungguhnya bukanlah merupakan "manajemen", tetapi lebih merupakan "seni" karena sifat relatifnya itu.


Mengelola pengetahuan perusahaan, meskipun berdasarkan uraian di atas sepertinya sangat sulit, bukan berarti perusahaan harus menyerah dengan kondisi tersebut, karena mau tidak mau pengetahuan organisasi yang berhasil diciptakan dari dinamika manusia tersebut sesungguhnya merupakan "the real competitive advantage" bagi sebuah organisasi. Untuk itu kita mengenal konsep budaya organisasi. Dalam framework Most Admired Knowledge Enterprise (MAKE) yang dikemukakan oleh Teleos, budaya organisasi merupakan fondasi atau landasan untuk membangun Knowledge Enterprise. Dalam era yang mengandalkan pengetahuan saat ini, dimana peranan manusia sebagai empunya pengetahuan menjadi sangat penting, pengembangan budaya organisasi menjadi titik kritis dalam menciptakan organisasi yang unggul.


Dari sudut pandang budaya, kita dapat mengelompokkan dua jenis organisasi, yaitu organisasi dengan budaya lemah (weak culture organization) dan organisasi yang memiliki budaya kuat (strong culture organization). Idealnya adalah organisasi yang berhasil membentuk budaya organisasi yang kuat karena di dalamnya terdapat individu-individu yang memiliki shared value yang konsisten dan memiliki tujuan dan perilaku yang sama dan efektif. Namun strong culture organization tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu proses untuk dikembangkan. Pengembangan strong culture organization dilakukan dengan pengembangan terhadap beberapa komponen budaya, antara lain kemampuan adaptasi dengan lingkungan bisnis, pemilihan dan pengembangan nilai-nilai organisasi serta perilaku-perilaku utama yang membuat organisasi dapat unggul, penciptakan tokoh-tokoh budaya sebagai role model untuk memudahkan bagi semua anggota organisasi dalam mewujudkan perilaku yang ideal, pengembangan ritual, tidak memandang rendah terhadap ritual yang diciptakan sebagai rutinitas yang tidak berguna, melainkan mengarahkan ritual-ritual kepada penguatan nilai-nilai, dan membangun jejaring budaya. Komponen-komponen budaya tersebut dapat dikembangkan untuk mewujudkan budaya pembelajaran dan penciptaan pengetahuan organisasi.


Karena prosesnya kompleks, tak sedikit organisasi meminta bantuan pada konsultan untuk membangun budaya yang kuat dalam organisasi mereka. Peranan konsultan dalam proses ini bersifat sangat vital, karena memerlukan kekayaan pengalaman pengembangan budaya di berbagai organisasi. Seperti halnya setiap individu yang unik, budaya setiap organisasi juga unik dan sangat bervariasi. Keberadaan konsultan dapat mendefinisikan setiap nilai yang sesuasi dengan organisasi dan mengarahkan pengembangan budaya yang selaras. Dengan pengetahuan dan pengalaman konsultan dalam membangun budaya di berbagai organisasi, dapat mengurangi risiko kegagalan yang dapat mengakibatkan kekacauan budaya perusahaan yang ada dan menghilangkan kepercayaan karyawan yang berujung pada penurunan performansi perusahaan. Risiko ini lazim timbul dalam suatu proses perubahan (change) jika kurang dapat dikendalikan dengan baik.


Dan bila budaya organisasi berhasil dikembangkan dengan baik, ini memberikan lingkungan yang kondusif bagi individu di dalamnya untuk saling berbagi. Lingkungan yang kondusif ini bukan hanya diciptakan dari proses dan sistem yang ada di dalamnya, tetapi terutama pada perilaku individu dan nilai-nilai yang mereka anut. Organisasi yang membentuk budayanya menjadi budaya pembelajar akan membentuk perilaku individu-individu di dalamnya untuk saling berbagi dengan rekan-rekannya secara sukarela. Mereka juga akan mendokumentasikan dan menjadikan pengetahuannya sebagai bagian dari proses yang hidup dalam organisasi.


Romanus Kristiawan
Consultant
Dunamis Consulting




(Vibiznews - Strategic Management) - Menurut sudut pandang pers bisnis, para eksekutif dan konsultan manajemen, budaya perusahaan sangat berpengaruh terhadap pilihan kebijakan dan kinerja finansial perusahaan. Namun, studi empiris dalam ekonomi dan keuangan kurang memberikan perhatian terhadap peranan penting dari budaya organisasi dalam menjelaskan perilaku perusahaan, terutama karena disebabkan oleh sulitnya mengukur dan mengkalkulasi budaya organisasi.


Selain itu juga disebabkan oleh minimnya teori ekonomi yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah salah satu penentu dalam kebijakan perusahaan. Namun, seperti yang dikedepankan oleh Kreps (1990) dan Hermalin (2001), memahami budaya organisasi sangatlah penting jika kita ingin memahami pilihan kebijakan perusahaan dan terutama kinerjanya.


Apakah sebenarnya budaya organisasi itu? Dan mengapa ia mempengaruhi keputusan perusahaan? Budaya organisasi memiliki beberapa definisi. Definisi yang umum digunakan adalah serangkaian norma, nilai, kepercayaan dan preferensi yang dianut bersama oleh para manajer dan karyawannya. Menurut pandangan ini, budaya organisasi dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan karena budaya menentukan perilaku yang tepat ketika perusahaan menghadapi situasi yang kompleks dan penuh ketidakpastian.


Motivasi dari penelitian mengenai pengaruh dari budaya organisasi terhadap kebijakan perusahaan selanjutnya dapat dilihat ketika mempertimbangkan bahwa banyak keanekaragaman dalam kebijakan perusahaan yang tidak dapat dijelaskan oleh model standar. Misalnya keputusan struktur modal perusahaan yang merupakan variabel kebijakan penting bagi sebagian besar perusahaan. Dalam penelitiannya, Lemmon, Roberts dan Zender menunjukkan bahwa efek firm-specific dapat menjelaskan lebih dari 90% variasi dari struktur modal pada perusahaan, sementara menurut model standar hanya 6%.


Mereka menyimpulkan bahwa determinan utama dari variasi cross section pada leverage adalah firm-specific dan time-invariant, dan untuk memahami keputusan struktur modal perusahaan harus diteliti faktor perusahaan yang tetap sepanjang periode yang lama. Salah satu faktor tersebut adalah budaya organisasi. Penelitian dari Cronqvist, low dan Nilsson berikut ini bermaksud untuk menyelidiki hubungan budaya organisasi dengan pilihan kebijakan perusahaan.


Hasil Penelitian
Perusahaan spin-off dan induknya memiliki kesamaan dalam kebijakan yang dipilihnya. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan mewarisi perilaku dari induk perusahaannya bahkan setelah mereka berpisah dan berdiri sendiri. Variabel-variabel yang dijadikan ukuran antara lain net investment, acquisition activities dan acquisition dependency. Kesemuanya menghasilkan koefisien yang positif dan signifikan.


Selanjutnya mereka meneliti kebijakan finansial. Nyatanya terdapat korelasi yang positif antara struktur modal perusahaan spin-off dan induknya. Mereka memiliki leverage yang serupa. Hasil serupa juga didapat ketika menganalisa ukuran leverage lainnya, seperti interest coverage ratio. Sehingga, kelihatannya perusahaan spin-off mewarisi perilaku induknya dalam berutang. Misalnya, induk perusahaan yang memiliki leverage rendah cenderung untuk memiliki spin-off yang komposisi utangnya rendah.


Mereka juga menganalisa kebijakan dividen. Perusahaan induk dan spin-off-nya memiliki kebijakan payout yang serupa, Hasil yang didapatkan juga positif dan signifikan.


Selanjutnya, juga diteliti kebijakan operasional. Seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya, hubungan antara kebijakan induk dan anak perusahaan dalam bidang R&D, pemasaran dan cost cutting policy juga positif dan signifikan. Oleh karena itu, kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah induk dan anak perusahaan memiliki budaya perusahaan yang sama, mereka menganut norma, kepercayaan dan ekspektasi yang sama mengenai perilaku perusahaan.


Teori ekonomi mengatakan bahwa budaya perusahaan cenderung untuk tetap selama periode yang panjang karena sangatlah mahal dan butuh waktu untuk mengubah norma, nilai dan kepercayaan yang dianut bersama dalam perusahaan. Oleh karena itu, mereka menguji apakah hubungan antara induk dan anak perusahaan bersifat jangka panjang, bukan hanya temporer. Hasilnya, lebih dari satu dekade setelah induk dan spin-off berpisah, ternyata mereka masih memiliki budaya yang serupa.


Jika budaya perusahaan memengaruhi kebijakan, maka diperkirakan berpengaruh pula terhadap kinerja finansial. Setelah dilakukan pengujian, ternyata hal ini terbukti. Induk yang kinerjanya baik cenderung untuk menghasikan spin-off yang kinerjanya baik pula. Sementara begitu pula sebaliknya. (Sumber: Cronqvist, H., Low, A., Nilsson, M. (2007).“Does Corporate Culture Matter for Firm Policies?”. http://www.ssrn.com.)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar