Selasa, 03 September 2013

Teori Foto yang Berbicara

Teori Foto yang Berbicara

Sebuah ujaran mengatakan bahwa ”Sebuah foto setara dengan seribu kata-kata”, selalu menjadi slogan manakala kita mencoba memberi makna pada sebuah foto. Padahal, slogan itu hanya benar kalau fotonya dibuat dengan benar. Foto yang dibuat dengan salah malah akan menimbulkan kebingungan bagi yang melihatnya. Alih-alih memberi informasi, foto yang ”tidak berbicara” malah tak setara dengan sebuah kata pun.

Tidaklah mudah membuat sebuah foto yang bisa berbicara. Banyak pedoman dan tolok ukur untuk itu. Yang pasti, pada beberapa kondisi, foto hanya bisa berbicara kepada kelompok tertentu saja, bukan semua orang.

Foto 1 adalah foto jurnalistik yang sangat kuat dan sangat berbicara. Namun, foto orang-orang yang sedang antre untuk membeli minyak tanah itu harus disertai teks. Kalau tidak, orang mudah bertanya-tanya. Tanpa teks, foto tersebut boleh saja diartikan bahwa mereka menawarkan atau menjual jeriken, bukan?

Selanjutnya, walau sudah diberi teks, masyarakat di negara maju mungkin masih tidak mengerti mengapa ada orang perlu antre untuk membeli minyak tanah. Ini artinya, foto 1 memang sangat berbicara, tetapi hanya bagi orang yang memahami situasi yang dihadapinya.

Keterbatasan bahasa

Selanjutnya, foto 2 merekam sebuah peristiwa kampanye pada tahun 1997 di Jakarta. Foto ini mengandung humor dari tulisan spanduk yang terpasang. Orang yang mengerti akan langsung tersenyum melihat ”harapan wong cilik” dengan ”bocah cilik-cilik” yang hadir dalam kampanye itu.

Namun, lagi-lagi foto ini akan dipahami untuk kalangan terbatas. Orang yang tidak mengerti bahasa Indonesia tentu tak akan mendapat apa-apa dari foto ini.

Kemudian, perhatikan foto 3 yang bisa dikatakan cukup universal. Foto ini merekam pencemaran Sungai Ciliwung oleh berbagai endapan. Sangat jelas tergambar adanya dua sisi air yang warna dan coraknya berbeda. Tanpa butuh terlalu banyak penjelasan, foto itu telah menjelaskan dirinya sendiri.

Pertanyaan yang layak mengemuka adalah, untuk apa adegan orang menjaring pada rakit bambu di foto ini?

Justru di sinilah kunci foto ini terletak. Rakit itu memberi penekanan bahwa sungai itu aktif menghidupi masyarakat sekitarnya, juga rakit itu memberi ”penegasan” terhadap detail pencemaran yang menjadi latar belakangnya.

Foto 3 menjadi kuat karena adanya ”kerja sama” antara rakit berisi orang menjala dan latar belakang pencemaran yang kasatmata. Tanpa aksen rakit, foto ini tidak berbicara apa-apa.

Perencanaan matang

Foto 4 berbicara dengan kuat kala kita membahas Pemilu 2009. Seorang pemilih di Surabaya, walau tidak memiliki anggota badan lengkap, tetap memberikan suaranya.

Adegan dia memasukkan surat suara dengan kaki adalah adegan yang secara visual sangat jelas tanpa penjelasan tambahan. Mengapa fotografernya bisa mendapatkan gambar kuat ini?

Dalam dunia jurnalistik, seorang fotografer seharusnya sudah mempunyai foto dalam benaknya sebelum rana dijepretkan. Dengan kata lain, sang fotografer seharusnya sudah tahu adanya adegan ini sebelum memotret. Dia harus mengumpulkan berbagai data sejak beberapa hari sebelum pemilihan, misalnya, dia harus tahu di TPS mana ada pemilih manula, pemilih dengan pakaian etnis tertentu, dan sebagainya. Saat pemotretan hanyalah masalah eksekusi saja.

Adapun foto 5 adalah rekaman sebuah adegan membuat pasfoto di Kabul, Afganistan, pada tahun 2003. Foto itu sekilas seperti tidak bicara apa-apa karena dari segi komposisi dan bahasa tubuh orang-orang dalam foto, foto ini seperti asal jepret.

Namun, kalau Anda perhatikan repro sebuah kartu tanda pengenal di foto 6, Anda akan langsung mengerti bahwa foto 5 adalah rekaman sebuah realitas pada masa 2003 itu.

Masyarakat di daerah Timur Tengah dan sekitarnya memang melarang wanita menampakkan wajah. Maka, kartu pengenal milik wanita pun kadang menampilkan pasfoto tanpa wajah.

Membuat foto yang berbicara membutuhkan beberapa hal penting.

1. Fotografer harus menguasai alatnya dengan baik. Berangkatlah memotret dengan baterai penuh dan kartu memori kosong, jangan sebaliknya.

2. Fotografer harus memahami situasi yang akan direkamnya ke dalam rekaman dua dimensi. Dia harus tahu bahwa realitas tiga dimensi dengan pelengkapnya (suara angin, bebauan, dan sebagainya) akan direkam dalam realitas dua dimensi tanpa pelengkap sama sekali.

3. Jangan pernah berangkat memotret dengan kepala kosong. Foto harus sudah jadi, minimal sebagai konsep, sejak sang fotografer berangkat untuk memotret. Arbain Rambey

sumber : teori foto yang berbicara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar